Minggu, 23 Februari 2014

Sepatan (Kutukan) Lembu Sura

Gunung Kelud tahun 1919 (sumber gambar : Wikipedia)
Beberapa hari yang lalu, 13 Februari 2014, rakyat Indonesia dihentak oleh meletusnya gunung Kelud, yang berada di daerah perbatasan Kabupaten Kediri, Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar, Jatim.

Dampak dari meletusnya gunung Kelud tidak hanya dirasakan oleh penduduk di sekitarnya.Daerah-daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Baratpun tak luput menerima dampak letusannya. Kegiatan masyarakatpun terpaksa berhenti karena hujan abu vulkanik yang mengganggu jarak pandang dan membahayakan kesehatan.

Secara historis, gunung Kelud pernah meletus sekitar 25 kali, rentang 1000 tahun, sampai dengan tahun 2007 lalu, yang tentunya memakan puluhan ribu korban jiwa.

Dengan meletusnya gunung Kelud, legenda yang berkaitan dengan gunung tersebut mulai marak lagi diperbincangkan di masyarakat. Menurut mitos setempat, kawah di puncak gunung Kelud merupakan
tempat di mana prabu Brawijaya mengubur hidup-hidup Lembu Sura.

Siapakah Lembu Sura itu? Nama sebenarnya adalah Raden Wimba. Dia adalah anak seorang Adipati
Blmabangan. Raden Wimba sebenarnya adalah seorang pemuda yang sangat sakti dan cerdas. Akan
tetapi karena perangainya yang bengal dan suka berbuat onar, sang Ayahanda kemudian mengutuknya
menjadi manusia lembu. Sehingga jadilah Raden Wimba berkepala lembu dan bertanduk.

Alkisah, penguasa kerajaan Majapahit saat itu, prabu Brawijaya, memiliki seorang putri berparas
cantik rupawan. Putri sang Prabu bernama Dyah Ayu Pusparini, atau lebih dikenal sebagai Dewi
Kilisuci.

Kecantikan sang Putri yang sangat mempesona tersebut membuat banyak pemuda berhasrat mempersuntingnya. Banyaknya pemuda yang ingin meminang sang putri membuat sang Prabu Brawijaya
sangat bingung memilih calon menantu yang tepat.

Akhirnya setelah berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya diselenggarakanlah sayembara bagi
para semua pemuda, pangeran atau raja yang hendak meminang sang Putri. Isi sayembara tersebut
adalah, barang siapa mampu merentangkan busur panah sakti bernama Kyai Garudayeksa, dan mampu
mengangkat sebuah gong keramat dari gamelan istana yang bernama Kyai Sekardelima, maka dialah
nantinya yang berhak meminang sang Dewi Kilisuci.

Banyak sekali pemuda, pangeran dan raja yang mengikuti sayembara tersebut, tetapi sayangnya,
belum seorangpun yang sanggup merentangkan busur Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai
Sekardelima.

Mendengar sayembara yang diselenggarakan prabu Brawijaya, Lembu Sura pun tertarik untuk
mengikutinya. Maka diapun pergi ke istana untuk mengikuti sayembara tersebut. Semua orang heran
melihat seorang pemuda bernampilan aneh, berkepala lembu dan bertanduk. Karena memang Lembu
Sura adalah seorang pemuda yang sakti, maka dengan mudah dia mampu merentangkan busur panah
Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima. Lembu Sura pun akhirnya berhak meminang
sang Dewi Kilisuci.

Sayangnya, melihat penampilan Lembu Sura yang aneh dan menyeramkan membuat Dewi Kilisuci enggan
dipersunting. Dia berupaya menghindar dari pinangan Lembu Sura, mengulur waktu mencari cara
sehingga dia bisa lepas dari pinangan pemuda itu.

Akhirnya, Dewi Kilisuci mengajukan satu syarat lagi kepada Lembu Sura jika dia benar-benar
sayang dan ingin menjadi suaminya, maka Lembu Sura harus membuat sebuah kolam di atas puncak
gunung Kelud dalam waktu yang telah ditentukan. Dewi Kilisuci berkata bahwa kolam tersebut
nanti akan digunakan untuk mandi berdua dengan Lembu Sura setelah upacara perkawinan dilaksanakan.

Karena besarnya cinta Lembu Sura kepada Dewi Kilisuci, maka diapun menyanggupi syarat tersebut.
Dengan kesaktian yang dia miliki, dan bantuan makhluk-makhluk gaib, maka Lembu Sura menggali
tanah untuk membuat kolam / sumur yang sangat indah.

Melihat bahwa Lembu Sura tampaknya mampu segera menyelesaikan kolam itu, Dewi Kilisucipun
berkeluh kesah. Dengan tangisan sedu sedan, dia menegaskan kepada Ayahandanya, bahwa dia tidak
bersedia dipersunting oleh pemuda berkepala lembu tersebut.

Prabu Brawijaya yang sangat menyayangi putrinya tersebut tidak mampu mengubah pendirian Dewi Kilisuci. Maka dicarilah cara supaya perkawinan agung itu tidak akan terlaksana. Akhirnya sang Prabu memerintahkan pasukan istana untuk mengubur Lembu Sura yang sedang menyelesaikan penggalian di puncak Kelud.Maka segeralah pasukan istana melempar tanah dan bebatuan ke arah Lembu Sura yang berada di dasar galian kolam tersebut.

Walaupun sudah terkubur tanah dan bebatuan, Lembu Sura masih bersuara dengan menggelegar penuh
amarah. Diapun mengutuk prabu Brawijaya dan istana,“Ingatlah, setiap dua windu (16 tahun) sekali aku akan merusak tanahmu dan seluruh yang hidup di kerajaanmu."

Sampai sekarang, setiap gunung Kelud meletus, warga setempat menganggap bahwa letusan tersebut adalah amukan dendam dari Lembu Sura. Masyarakat setempat mempunyai ritual Larung Sesaji yang dilakukan di tepian kawah gunung Kelud tiap bulan Sura (Suro). Ritual Larung Sesaji ini dimaksudkan sebagai penolak bala kutukan Lembu Sura yang ditipu oleh Dewi Kilisuci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar