Selasa, 25 November 2014

Terima Kasihku, Guruku!

Hari ini, 25 Nopember, pikiran saya mengajak saya berlari mundur ke tahun-tahun yang lampau semasa saya masih sekolah. Entah mengapa, awal-pertengahan 80-an selalu tertanam dalam di benak saya.

Saat itu, saya hanyalah seorang murid SD negeri di sebuah dusun kecil di Jawa Tengah, yang jauh dari keramaian kota. Sekolah itu tidak terlalu besar, tapi cukup. Setiap kelas, dari kelas satu sampai dengan kelas enam mempunyai satu ruang kelas, ditambah satu ruang guru dan satu ruang kepala sekolah. Sebuah warung kecil berdampingan dengan kamar kecil berada di samping lapangan olahraga. Lapangan olahraga berukuran seluas lapangan bola, setiap hari Senin digunakan untuk upacara bendera.

Gedung sekolah yang sangat sederhana, tapi sudah lebih dari cukup. Setiap hari kami pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Beruntung rumah orang tua hanya sekitar 400 meter dari sekolah, sehingga tidak terlalu jauh. Terkadang jam istirahat yang cuma 15-30 menit saya gunakan untuk pulang ke rumah. Untuk para guru yang rumahnya tidak terlalu dekat, mereka biasanya menggunakan angkutan umum, dan kemudian jalan sekitar 300 meter menuju sekolah, ada pula yang menggunakan sepeda motor. Sepeda motor waktu itu merupakan kendaraan yang tergolong mewah, karena masih jarang orang yang punya.

Masih lekat di ingatan bagaimana guru kelas satu, Ibu Katmi menyuruh saya untuk senantiasa tersenyum, jangan selalu cemberut .. hehe. Ibu Vero yang galak (saya tidak sempat diajar beliau), Ibu Kristin, guru bahasa Indonesia yang disukai anak-anak karena cantik dan lemah lembut, yang sangat berdedikasi mengajar. Saya ingat, beliau pernah sakit flu parah, tapi tetap mengajar. Pak Ngadiran, guru IPA yang ganteng dan agak pendiam, pak Suyud, guru matematika yang sangat disegani sekaligus ditakuti.. hehe. Ibu Paryati, saya lupa beliau mengajar apa, tapi beliau adalah seorang guru yang sabar dalam mendidik. Terakhir saya dengar beliau sudah meninggal dunia karena kanker payudara. Ibu Parwati, guru kelas tiga, saya lupa beliau mengajar pelajaran apa, tapi yang pasti beliau melatih tari. Beliau selalu menggunakan motor untuk pergi ke sekolah, lengkap dengan helm dan penutup kepala, dan sering bilang "Aja takon dosa", bila mengetahui kami berbuat salah. Ya, dalam komunikasi belajar mengajar, untuk bahasa verbal, kebanyakan kami masih menggunakan bahasa sehari-hari, yaitu bahasa Jawa, sedangkan untuk bahasa tertulis sudah menggunakan bahasa Indonesia.

Pak Tohir (entah ada hubungan dengan Erick Tohir atau tidak), adalah guru olah raga kami. Beliau waktu itu masih sangat muda, sekitar 25-30 tahun. Beliau sangat disiplin dan tegas dalam mengajar kami. Walaupun beliau tidak pernah menggunakan kekerasan, tapi pernah suatu kali beliau dikeroyok beberapa orang di lapangan olah raga, oleh orang yang rupanya tidak terima saudara mereka dihukum oleh beliau. Kasus pengeroyokan itu sempat menjadi berita heboh di kampung kami.

Pak Haryoto. Beliau adalah wali kelas kami saat kelas enam. Mungkin saat itu berusia sekitar 50 tahunan, berperawakan kurus, berkacamata dan sering merokok kalau sedang di luar kelas. Yang ini memang tidak boleh dicontoh. Karena perokok berat, beliau sering sakit batuk yang parah. Tapi dalam mengajar, menurut saya, beliau adalah seorang guru yang hebat. Kadang beliau mengajar IPA, kadang matematika, dan juga bahasa Jawa. Saya sangat terkesan dengan pelajaran yang terakhir. Paling ingat saat beliau mengajar kami nembang Macapat, dari Pocung sampai Megatruh. Tapi tembang yang saya masih bisa sampai saat ini hanya tembang Pocung dan Pangkur hehhe. 

Ada satu hal yang membuat saya sangat salut dengan beliau. Saat kelulusan SD, tiba-tiba saja surat NEM saya yang asli hilang. Bapak saya sangat murka kepada saya karena dengan teledornya menghilangkan hasil belajar selama enam tahun. Saya dan bapak saya bingung, pontang-panting ke sana kemari, tanya sana sini.. tapi hasilnya nihil. Saya hampir tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMP. Beruntung saya masih punyai copy-annya, sehingga bisa membuat surat NEM baru berdasarkan berkas copian tersebut.. dan akhirnya bisa melanjutkan ke SMP. Singkat cerita, waktu itu saya sudah kuliah di Bandung. Saat liburan, saya mudik ke kampung. Di rumah Bapak cerita, kalau Pak Haryoto sudah meninggal beberapa waktu karena sakit. Kebetulan pada saat beliau sakit, bapak saya sempat mengunjungi beliau. Pada saat itulah beliau cerita mengenai kisah surat NEM saya, yang ternyata disembunyikan oleh dua orang teman sekelas. Beliau bilang, kalau pada saat kejadian itu beliau cerita ke Bapak Saya, bukan tidak mungkin bakal ada "pertarungan" antara orang tua saya dengan orang tua teman-teman saya itu, karena memang saat itu orang tua kami masih muda. Maka Pak Haryoto menyimpan kisah itu sendiri dalam hati, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, sampai saat semuanya sudah tenang. Ternyata, pada saat sakit keras itulah beliau membuka kisahnya. Bagi saya itu adalah sebuah pelajaran kebijaksanaan yang sangat-sangat berharga.

Mungkin pada saat sekolah dulu, saya merasa bahwa guru-guru saya mungkin terlalu "galak" atau memberi kami berbagai macam kesulitan, akan tetapi sekarang saya menyadari, bahwa beliau-beliau adalah guru-guru terbaik, dan saya sangat beruntung bisa menimba ilmu dari mereka.

Selamat Hari Guru Nasional!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar